Kapan manusia bisa benar-benar menikmati hidupnya? Saat masih kecil, hidup tampak menyenangkan. Bermain dan belajar, dan tetap berada dalam perlindungan orang tuanya. Tanggung jawabnya masih terbatas seputar belajar dan bermain. Ini berlangsung terus sampai pelajaran formal selesai, yaitu saat lulus kuliah.
Setelah itu datanglah tanggung jawab yang lebih besar, yaitu mencari nafkah dan menikah untuk membangun keluarga sendiri. Tahu kan cukup banyak orang yang tidak menikmati pekerjaannya, tapi tetap bekerja di tempat tersebut karena membutuhkan gajinya? Banyak kan yang belum bisa melakukan hal-hal yang diinginkannya, karena keterbatasan dana dan ada tanggung jawab yang harus dilakukan dalam pekerjaan maupun usahanya?
Ritme serasa tinggi. Setiap hari bangun, pikirannya seputar apa yang harus dilakukan hari ini, harus menelpon siapa, menemui siapa, membahas apa, monitor ini-itu, menghadiri rapat. Ritme yang lebih tinggi lagi membuat seseorang bangun pagi, bekerja sampai larut malam, kemudian pulang rumah sudah kecapekan, tinggal tidur.
Begitu setiap hari, sampai keluarganya komplain. Mereka mungkin menikmati uang yang dihasilkan, namun tidak menikmati keberadaan sosok yang menghasilkan uang tersebut.
Pekerjaan maupun usaha ada suka-dukanya.
Yang bekerja, mungkin dimarahi bos, apalagi yang tidak pengertian. Lebih parah lagi, dipecat. Ada fase menganggur mencari pekerjaan baru yang tidak mudah, dapat pekerjaan baru juga belum tentu sesuai dengan hasrat pribadi, sekedar agar dapur tetap ngebul.
Ada politik kantor yang mengganggu karir seorang karyawan. Sudah berprestasi, tetapi tidak mendapat penghargaan, hanya karena kalah menjilat, atau ternyata ada rekan kerjanya yang lebih hebat lagi, sehingga prestasi diri tenggelam tak terlihat.
Sudah berkontribusi untuk perusahaan, masih dimarah-marahi, karena bos memang tidak perlu mengerti, yang penting tetap membayar gaji dengan teratur. Karyawan yang sudah bekerja cukup lama, menunggu untuk mendapatkan kemajuan, ternyata tetap belum berhasil mendapatkan kemajuan itu.
Yang usaha, menjadi seorang bos, bukan berarti lebih enak. Bos sering pusing dengan ulah para karyawannya: ada yang dianggap bodoh, tidak bisa mengerti, melakukan kesalahan, bahkan kesalahan fatal yang menyebabkan kerugian yang tidak sedikit.
Menjadi bos bisa menghadapi masa bisnis sepi, rugi, menguras tabungan, bahkan sampai berhutang tidak bisa bayar dan dikejar penagih hutang. Stress. Minta kredit ke bank, belum tentu diterima. Mendingan bila langsung ditolak.
Terkadang menunggu dulu beberapa bulan dengan janji-janji penuh optimisme, minggu depan cair, ternyata tidak kunjung cair setelah berbulan-bulan, dan akhirnya permohonannya ditolak karena tidak memenuhi syarat atau apa pun penyebabnya yang tidak perlu dijelaskan oleh pemberi kredit.
Sudah memiliki bisnis yang bagus, ternyata tiba-tiba diserobot oleh orang lain: bisa pesaing, saudara bahkan mantan karyawan, lebih celaka lagi diserobot oleh karyawan yang sedang bekerja di dalam. Produk ditiru orang, nama tercoreng, pelanggan pergi.
Bisnis sudah makin mapan, ternyata muncul pesaing di bidang yang lain, yang disebut sebagai disrupsi. Tiba-tiba dunia berubah, dan pesaing tersebut yang sebenarnya bukan pesaing, namun sudah mengambil banyak pasar dan mengakibatkan kerugian, bahkan mengancam eksistensi bisnis.
Pemilik bisnisnya tinggal kebingungan saja, apa yang harus dilakukan? Kalau mau diubah, diubah jadi seperti apa? Seringkali urusan begini tidak bisa selesai hanya dengan meniru, karena ini mengenai kekuatan yang tidak dimiliki dan sulit untuk dibangun, apalagi bila benar-benar sedang kebingungan dan tidak mengerti.
Yang tidak menikah ingin menikah, bingung mencari pasangan. Yang sudah berpacaran bingung mempersiapkan biaya untuk menikah. Yang menikah dan punya anak, mendapatkan tantangan baru yaitu seputar keluarga dan pendidikan anak.
Pendidikan anak makin mahal, sehingga makin besar pula tuntutan untuk menghasilkan lebih banyak uang untuk bisa terus memberi yang terbaik bagi keluarga.
Selain masalah uang, masih banyak lagi masalah-masalah yang bisa muncul dalam rumah tangga dan keluarga: pasangan yang marah, anak yang nakal dan tidak menurut pada orang tua, memiliki perbedaan pandangan yang ekstrim dengan orang tuanya, ada yang terkena bully, dan lain-lain. Dan itu merupakan tambahan kepusingan bagi orang dewasa.
Memasuki usia pensiun, maka itu sebenarnya memang saatnya pensiun. Apakah sudah siap?
Yang karyawan, tentu bingung. Berhenti dari perusahaan, dapat uang berapa? Dan setelah itu bagaimana melanjutkan hidup bila usia dianggap sudah tua dan tidak bisa dipekerjakan lagi? Sementara biaya hidup meningkat.
Di usia pensiun, kesehatan makin harus diperhatikan. Bisa jadi semasa muda, bekerja terlalu keras, gaya hidup terlalu ngawur, begitu sudah tua kesehatannya sudah rusak dan perlu dana tidak sedikit untuk memperbaikinya.
Bahkan ada uang pun belum tentu bisa memperbaikinya, ada organ-organ tubuh tertentu yang sudah protes dan memberi batasan baru: dilarang makan terlalu manis atau asin, jangan banyak makan enak karena kolesterol, jangan merokok lagi karena paru-paru sudah terancam, jangan minum alkohol lagi karena liver sudah tidak bagus lagi.
Lho, sekarang sudah punya uang kok justru tidak boleh makan enak? Dulu mau makan enak tidak punya uang.
Bukan sekedar tidak boleh makan enak, bahkan harus minum seabreg vitamin untuk menjaga kesehatan tetap prima. Lebih parah lagi, banyak minum obat, karena sudah dihinggapi penyakit degeneratif, sehingga obatnya sudah harus terus seumur hidup: kencing manis, darah tinggi, kolesterol, dan lain-lain.
Tuntutan anak makin besar, yang bahkan untuk menikah juga mungkin masih minta dibantu dibiayai. Anak mungkin menghadapi kesulitan dalam karir dan usahanya, butuh bantuan orang tua, mulai dari sekedar nasihat, koneksi sampai keuangan. Itu tentu merupakan tambahan beban bagi orang tuanya.
Bayangkan bila memasuki masa pensiun nanti, persiapan sudah matang.
Uang sudah bukan masalah, karena selain mendapatkan pesangon yang cukup, juga sudah memiliki beberapa usaha yang menguntungkan, lebih dari cukup untuk kehidupan sampai kapan pun, dan siap untuk diteruskan oleh keluarga.
Apa yang akan dilakukan?
Tergantung apa yang menjadi minat dan hasrat yang selama ini mungkin belum terlampiaskan. Ada yang suka berkelana keliling dunia, sekaranglah saatnya. Pergi sana beberapa bulan tanpa pulang, nikmati segenap penjuru dunia dengan berbagai pemandangan yang unik dan khas.
Nikmati berbagai makanan yang berbeda-beda di setiap tempat dan negara. Foto-foto bersama pasangan, update status ke media sosial.
Yang suka belajar hal-hal selain pekerjaan, seperti menjahit, masak, bahasa baru, ilmu baru, sekaranglah saatnya. Sudah tidak perlu lagi belajar manajemen proyek, pemasaran, strategi dan taktik dalam eksekusi pekerjaan. Sekarang saatnya menggambar, mewarnai, bernyanyi, musik, tampil di panggung untuk eksis.
Yang ingin berkontribusi bagi sesama manusia, sekarang saatnya terlibat dalam berbagai kegiatan sosial. Bergabung di perkumpulan atau yayasan, bahkan membangun perkumpulan atau yayasan sendiri sesuai dengan visi yang anda miliki.
Donasi sini-sana, membantu banyak orang, menumpuk jasa pahala. Semua tanpa beban pengukuran kinerja yang biasanya dilakukan di kantor, tanpa survey 360 yang mengukur kepuasan dan kepercayaan rekan kerja kepada anda, tanpa keharusan untuk cari muka atau tampil menonjol agar prestasi anda terlihat dan dihargai.
Saat pensiun, anda mendapatkan kembali kehidupan anda, kembali seperti anak-anak. Hanya asyik, tanpa beban lagi. Dan ini semua hanya bisa dicapai bila pensiun tersebut benar-benar dipersiapkan sejak awal, terutama dari sisi keuangan.
Jangan sampai pensiun menjadi momok, kehilangan wewenang di kantor, post-power syndrome. Pensiun adalah saatnya menyongsong kehidupan yang sebenarnya. Dengan persiapan yang tepat, badan cukup sehat untuk menikmati indahnya hidup, banyak menikmati waktu bersama keluarga dan teman-teman.