Di masa yang lampau, menjadi unggul tidak terlalu sulit. Persaingan tidak ketat. Jarak antara pemenang dan lainnya juga sangat jauh. Pihak yang unggul tampak sangat unggul dan sulit untuk dikejar.
Ada batasan dan penghalang bagi pihak lain untuk bisa bersaing apalagi mengalahkan pemenang.
Salah satu penyebab adalah pihak yang menang memiliki akses ke faktor-faktor yang menghasilkan kemenangan, seringkali berupa teknik, dana dan koneksi. Bisa juga disebutkan sebagai sumber daya uang dan manusia.
Saya masih ingat Formula 1 era Michael Schumacher di tim Ferrari. Ferrari sebagai juara dunia dan tim terkaya memiliki faktor-faktor yang sulit ditandingi tim lain: punya sirkuit sendiri, 2 buah pula! Dengan dana berlebih, Ferrari bisa melakukan uji coba sepuasnya untuk mengembangkan mobil, karena memiliki 2 sirkuit sendiri.
Tim lain hanya bisa menggunakan simulator. Ferrari bisa menggaji pembalap terbaik dan menjadi tim idaman para pembalap. Ferrari bisa mempekerjakan tim terbaik di bidangnya, sementara tim lain tidak semudah itu.
Jadi Ferrari memiliki dream team dengan pendanaan yang mewah. Kemenangan yang diraih oleh Michael Schumacher sangat sangat dominan dengan rekor fantastis, seperti 100% podium di tahun 2002, menang di hampir seluruh lomba yang ada di tahun tersebut, Ferrari mampu meraih point kejuaraan lebih banyak dibanding seluruh tim lain digabung menjadi satu, menang dengan mobil edisi tahun sebelumnya, mengunci posisi juara dunia di pertengahan musim, bisa melakukan pit stop lebih banyak atau lebih sedikit dari yang diperlukan untuk memastikan keunggulan, dan lain-lain.
Kemenangan yang diraih oleh Michael Schumacher sangat sangat dominan dengan rekor fantastis, seperti 100% podium di tahun 2002, menang di hampir seluruh lomba yang ada di tahun tersebut, Ferrari mampu meraih point kejuaraan lebih banyak dibanding seluruh tim lain digabung menjadi satu, menang dengan mobil edisi tahun sebelumnya, mengunci posisi juara dunia di pertengahan musim, bisa melakukan pit stop lebih banyak atau lebih sedikit dari yang diperlukan untuk memastikan keunggulan, dan lain-lain.
Bila melihat Formula 1 era hari ini, situasinya berbeda. Tim dilarang melakukan uji coba sendiri, sehingga walaupun punya 2 sirkuit, hal ini tidak lagi berguna untuk Ferrari.
Anggaran sudah dibatasi, sehingga jarak antara tim pemenang dan papan bawah dikurangi. Dalam beberapa kesempatan, jarak antara juara dunia dan runner-up hanya selisih 1 point.
Itu ada point yang membedakan antara seseorang terus diingat sebagai juara dunia atau dilupakan karena tidak ada yang mengingat posisi runner-up.
Point tersebut walaupun hanya bernilai 1 point, yang membuat Kimi Raikkonen terus diingat karena menjadi juara dunia di tahun 2007 dan hanya kali itu saja menjadi juara dunia, dan juga yang membuat Felipe Massa dilupakan karena kalah 1 point di tahun 2008 dari juara dunia tahun tersebut dan tidak pernah lagi sedekat itu dengan posisi juara dunia.
Hal senada sebenarnya terjadi di segala bidang, yang intinya adalah pemenang tidak menang mudah. Persaingan makin ketat, jarak antara pemenang dan yang tidak menang makin tipis.
Untuk menyiasati hal ini, muncul konsep blue ocean dan red ocean sekitar 1-2 dekade lalu. Jadi bahkan konsep ini pun tidak baru lagi. Di red ocean, persaingan berdarah-darah, sementara di blue ocean, tidak ada pesaing. Untuk masuk ke blue ocean, diperlukan keunikan yang tidak dimiliki oleh pesaing sehingga tidak terjadi persaingan dan perbandingan.
Namun dengan konsep blue ocean yang usianya sudah 1-2 dekade, yang sebenarnya adalah pengembangan dari teori Porter beberapa dekade lagi sebelumnya, maka bisa dibayangkan, berapa banyak pebisnis yang sudah mengerti tentang blue ocean? Banyak pebisnis mengklaim memiliki keunikan dan berusaha mengembangkan keunikan agar bisa berada di blue ocean, untuk menghindari red ocean.
Namun bila ada begitu banyak pemain di blue ocean, walaupun blue ocean-nya terpisah dan tersendiri, apakah benar mereka tidak bersaing satu sama lain?
Teori Porter sudah membahas cukup lengkap sebelum konsep blue ocean dituangkan. Salah satunya mengenai pengaruh substitusi atau produk pengganti.
Boleh saja berada di blue ocean, namun bila hasil yang didapatkan oleh pelanggan bisa didapatkan juga dengan produk yang berbeda (tidak bersaing secara langsung), maka sebenarnya telah terjadi persaingan secara tidak langsung. Itu berarti 2 pihak atau lebih yang berada di blue ocean yang berbeda bisa jadi sebenarnya tetap sedang bersaing satu sama lain, dan tetap ada peluang untuk menang dan kalah.
Ini bisa dilihat dari kejadian perusahaan yang kalah bersaing, ternyata bukan kalah oleh kompetitor di bisnis yang sama, melainkan oleh pihak lain di bisnis yang berbeda, bahkan benar-benar berbeda dan tidak berhubungan sama sekali tampaknya, namun menimbulkan efek yang massif, bahkan menimbulkan kebangkrutan.
Bila mall dan pusat perbelanjaan makin sepi, ternyata bukan hanya karena pelanggan berpindah ke mall yang lain, melainkan karena mereka berbelanja secara online.
Mengapa mall makin sepi? Bukan karena pelayanan dan suasana yang kalah menyenangkan dengan mall lain yang lebih ramai (masih berada dalam kendali), namun bisa jadi karena macetnya jalanan (di luar kendali).
Industri mainan bila makin sepi, bukan karena anak-anak menemukan mainan lain, melainkan karena mainannya sudah masuk dalam handphone. Revolusi digital ini memakan banyak korban dari berbagai industri karena digantikan oleh aplikasi di komputer dan terutama di ponsel.
Keterbukaan informasi dan akses terhadap teknologi telah membuat dunia makin flat, sehingga makin banyak pihak memiliki akses terhadap faktor-faktor yang akan memberikan keunggulan, sehingga mengurangi jarak antara pihak yang unggul dengan para pesaingnya.
Contoh sederhana, dulu harga komputer sangat mahal dan besar. Hanya perusahaan besar yang bisa memanfaatkan komputer, karena hanya mereka yang bisa beli. Kemudian saat komputer makin kecil, praktis seluruh pebisnis bisa membeli komputer dan laptop.
Tapi harga aplikasinya masih mahal, sehingga sekali lagi hanya perusahaan besar yang bisa memiliki aplikasi bisnis yang mahal secara resmi, sementara pesaingnya bila tidak membayar akan digerebek polisi karena telah melanggar hak cipta.
Namun revolusi model bisnis sekali lagi membuat persaingan lebih ketat, karena pemain kecil bisa membayar lisensi dengan model pembayaran langganan yang harganya jauh lebih murah, sehingga mereka pun bisa secara resmi menggunakan aplikasi yang canggih seperti pemain besar.
Bahkan terkadang untuk unggul tidak perlu menjadi yang paling canggih. Perusahaan besar bisa memiliki teknologi canggih karena memiliki dana R&D yang sangat besar, bahkan jauh lebih besar dari omzet perusahaan kecil. Sekali lagi, dana R&D yang biasanya dibuang-buang untuk coba-coba bahkan lebih besar dibandingkan dengan omzet pebisnis yang lebih kecil.
Namun apakah pebisnis yang kecil pasti kalah? Sebenarnya ada enaknya juga. Tidak perlu repot melakukan R&D, biarlah perusahaan besar yang melakukannya, perusahaan kecil tinggal menirunya dan mengadaptasinya secara legal, yang penting bisa menjual lebih banyak produk dengan teknologi yang ‘hanya sedikit ketinggalan’, namun harganya jauh lebih murah. Volume bisa mengalahkan margin.
Mesin canggih juga demikian. Makin banyak pebisnis tidak berharap membeli mesin canggih berharga mahal yang bisa bertahan lama. Mereka cukup membeli mesin canggih yang tidak terlalu canggih, made in China, tidak perlu terlalu awet, yang penting jauh lebih murah dibandingkan mesin buatan Jerman atau Jepang atau Amerika yang jauh lebih mahal walaupun juga jauh lebih canggih.
Dalam beberapa tahun, yang harganya murah mungkin sudah rusak dan harus beli baru, namun saat itu pemiliknya mendapatkan kesempatan emas untuk membeli mesin yang lebih canggih lagi dengan harga tetap murah, karena tetap mencari made in China, sementara pemain besar yang menggunakan mesin canggih buatan Jerman, Jepang atau Amerika mungkin masih asyik dengan mesin-mesin tersebut, karena belum rusak dan bila belum rusak, tentu saja belum perlu diganti, apalagi secara akuntansi, mungkin depresiasinya belum selesai dan belum waktunya untuk diganti. Tiba-tiba pebisnis kecil memiliki peluang yang sama menariknya walaupun berbeda bentuk dengan pemain-pemain besar.
Kegiatan periklanan misalnya, perusahaan besar bisa dengan mudah menggelontorkan dana milyaran untuk ‘dibuang-buang’ melalui iklan. Pemain kecil jelas kesulitan, karena omzet saja belum tentu menyentuh milyar, apalagi untuk ‘dibuang-buang’.
Namun bukan berarti pemain kecil tidak punya peluang. Mereka sekarang bisa beriklan di Facebook dan media sosial lainnya, dengan anggaran mulai 0, atau membayar uang recehan secara harian untuk muncul di iklan Facebook maupun Instagram.
Namun sekali lagi bahkan iklan di media sosial bukan hanya monopoli para pemain kecil, karena pemain besar juga sangat mampu memanfaatkan media sosial tersebut untuk membuat kampanye yang lebih viral dengan anggaran yang heboh.
Apakah kampanye tersebut mengganggu pemain kecil? Ternyata dalam banyak kasus, tidak terjadi gangguan yang signifikan, karena semuanya bermain di arena yang terpisah, sehingga keberhasil pemain yang satu tidak menghalangi keberhasilan pemain yang lainnya.
Kita juga tahu bagaimana taxi Blue Bird kalah oleh Gojek dan Grab, yang bahkan tidak memiliki armada satu pun, hanya bermodal aplikasi. Bagaimana perbankan takut menghadapi fintech yang baru bermunculan.
Tiba-tiba bank kecil juga bisa berinovasi dengan rekening tabungan yang tidak perlu ada saldonya (boleh Rp.0) dan nasabah tidak perlu datang ke bank, karena semua transaksi bisa dilakukan secara online. Kalau mau setor, bisa transfer dari bank lain saja.
Artinya, silakan menyetor di bank lain, baik lewat ATM setor tunai atau ke teller bank tersebut, untuk kemudian dananya dipindahkan ke rekening tersebut di bank kecil. Tentu saja ini artinya, walaupun bank kecil tidak memiliki kantor cabang sebanyak bank besar, tidak kalah oleh bank besar, karena mereka juga punya peluang yang tidak dieksplorasi oleh bank besar.
Dalam beberapa hal, banyaknya kantor cabang perbankan justru bukan lagi menjadi keunggulan, melainkan kelemahan bank, karena itu berarti ada biaya operasional yang cukup tinggi, jauh lebih tinggi dari biaya bank kecil yang jumlah kantor cabangnya sedikit. Internet membuat semuanya bisa mengakses layanan perbankan dari mana saja.
Lalu apa yang bisa membuat keunggulan tersebut bertahan?
Bila diperhatikan dari uraian di atas, hal-hal yang sifatnya tinggal beli, ternyata rentang untuk ditiru secara langsung atau tidak langsung (digantikan dengan hal sejenis yang lebih murah).
Aset benda bukan lagi menjadi keunggulan signifikan di masa sekarang, karena inovasi startup banyak mengemulasi keunggulan aset benda dengan benda pengganti yang harganya lebih murah.
Begitu banyak hal yang bisa membuat pesaing mendekati keunggulan para pemenang.