Seseorang mendirikan bisnis, dengan sebuah visi yang luhur dan mulia. Kemudian dari visi tersebut, dia mendirikan badan hukum sebagai kendaraan bisnisnya, dan bisnis tersebut pun dijalankan.
Dengan penuh semangat pendiri bisnis tersebut membagikan visinya akan sebuah dunia yang lebih baik melalui apa yang dia lakukan dalam bisnisnya. Pendiri tersebut bicara ke mana-mana, baik kepada karyawannya sendiri, teman-temannya maupun para calon pelanggannya. Namun sayang: hanya sedikit yang tertarik, apalagi setuju dengannya.
Apa yang akan terjadi berikutnya? Anda bisa tebak secara benar: bisnis tersebut sepi, omzet kecil, dan terancam gulung tikar.
Pertanyaannya: apakah ini disebut sebagai kegagalan?
Ada perbedaan mendasar antara kegagalan berbisnis dengan bisnis yang belum memberikan hasil sesuai dengan yang diharapkan. Saat belum memberikan hasil yang diharapkan, tentu saja masih berada dalam kondisi rugi, dan bahkan sudah menyebabkan kesulitan arus kas dalam perusahaan tersebut.
Namun sebuah bisnis selama belum pailit dan berhenti, belum disebut gagal. Untung dan rugi adalah hal yang biasa dalam bisnis. Untung dan rugi hanya sebuah umpan balik kepada pemimpin bisnis tersebut agar melakukan suatu perubahan agar mendapatkan hasil sesuai dengan yang diharapkan.
Hanya bila perusahaan tersebut diputus pailit oleh pengadilan dan dihentikan operasionalnya, perusahaan tersebut boleh dianggap gagal, karena pada dasarnya badan hukumnya juga sudah bubar pada saat putusan pengadilan tersebut. Ibarat manusia, sudah mati.
Selama belum pailit, tentu masih ada langkah penyelamatan yang bisa dilakukan, tergantung dari tingkat keparahan situasi yang ada. Makin awal tentu saja makin mudah dan murah untuk menyelamatkannya.
Di tahap awal, tentu tanda-tandanya adalah bisnis yang tidak menghasilkan omzet yang cukup untuk menunjang operasionalnya, dan secara laporan keuangan menghasilkan angka “rugi”. Sekali lagi, untung dan rugi adalah hal yang biasa dalam bisnis.
Apa yang perlu dilakukan bila terjadi “rugi” pada laporan keuangan? Tentu saja ini adalah signal untuk melakukan perubahan. Mungkin kegiatan pemasarannya yang perlu dikaji ulang, apakah sudah mendapatkan cukup calon pelanggan? Atau calon pelanggannya sudah banyak namun yang beli hanya sedikit? Mengapa demikian? Bila calon pelanggannya terlalu sedikit, mungkin perusahaan tersebut tidak melakukan kegiatan pemasaran secara tepat: baik tepat sasaran maupun tepat pesan pemasarannya atau bahkan tepat produknya atau tepat harganya.
Hal-hal ini perlu dikaji ulang dan dicoba skenario yang berbeda. Bagaimana bila diberi diskon untuk asumsi harga yang belum tepat (terlalu mahal)? Mungkin produknya perlu dibuat lebih canggih atau bahkan dikurangi fiturnya agar lebih sederhana sehingga lebih murah? Mungkin pesan pemasarannya yang harus diubah supaya lebih mengena? Mungkin target pasarnya yang kurang tepat? Bila kurang tepat, lalu apa yang seharusnya dilakukan agar lebih tepat? Tidak semua pebisnis bisa langsung tahu apa yang menjadi jawabannya. Seringkali juga coba-coba.
Coba-coba bisa dilakukan sendiri atau dibantu oleh jasa konsultan atau business coach untuk mendapatkan pandangan yang lebih objektif.
Kerugian bisa juga disebabkan karena biaya yang terlalu tinggi. Mengapa biaya tersebut terlalu tinggi? Apakah sudah sesuai dengan yang diperkirakan sebelumnya atau malah meleset terlalu jauh? Apa yang membuatnya meleset jauh? Apakah terkena regulasi pemerintah yang belum diperhitungkan sebelumnya? Ataukah harga yang memang fluktuatif? Lalu bagaimana solusinya untuk mendapatkan harga yang lebih sesuai dengan perkiraan semula yang seharusnya menghasilkan keuntungan?
Bila kesulitan untuk mengetahui jawabannya, jangan ragu untuk meminta bantuan konsultan atau business coach untuk membantu mengidentifikasi masalahnya.
Bisa jadi kerugian terjadi karena kesalahan dalam mengelola arus kas. Hal ini juga sering belum diperkirakan sebelumnya oleh pebisnis saat mendirikan bisnisnya.
Mungkin supplier memberi tempo yang terlalu pendek, sementara pelanggan membayar dengan tempo yang sangat panjang, sehingga perusahaan kalah dalam arus kas, apalagi bila tidak memiliki modal kerja yang mencukupi.
Ini adalah seninya berbisnis. Jangankan rugi, karena bahkan dalam kondisi untung pun, kajian-kajian seperti di atas masih harus terus dilakukan, sebelum tiba-tiba terjadi hal-hal yang tidak diinginkan karena perubahan dalam persaingan bisnis misalnya.
Jadi meminta pendapat konsultan atau business coach tidak hanya pada saat bisnis dalam kondisi susah, namun pada saat bisnis stagnan atau untung sekalipun, siapa tahu ada pandangan baru yang bisa melejitkan bisnis anda.
Namun di situasi paling jelek sekalipun, selama belum divonis mati, maka bisnis tersebut belum mati dan selalu ada jalan untuk menyelamatkannya. Hanya biaya penyelamatan yang akan membedakannya, beserta kemungkinan selamat dan juga sebuah pertanyaan pendek: apakah ini layak untuk diselamatkan?
Bisnis bukan manusia. Bila memang harus mati atau tidak layak diselamatkan, terkadang perlu dibiarkan saja mati karena siapa tahu mendirikan bisnis yang baru masih lebih murah daripada menyelamatkan bisnis yang telah ada sebelumnya.
Apalagi bila bisnis sebelumnya ada terkait masalah hukum atau konflik dengan pihak lain, tentu lebih mudah untuk membangun bisnis yang baru lagi, memulai lembaran baru, dengan pengalaman sebelumnya sebagai pelajaran berharga untuk bisa memulai kembali dengan cara yang lebih baik lagi.